Imam
Al-Auzai berpendapat bahwa gibah itu membatalkan puasa, sementara Ibnu
Hazm menyatakan bahwa semua maksiat itu sama hukumnya dgn gibah, yaitu
membatalkan puasa.
Keduanya berdalil dgn hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
yang tak meninggalkan ucapan dusta & beramal dengannya serta
kejahilan, maka Allah tak butuh dia meninggalkan makanan &
minumannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)
Maksiat
Juga
hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Betapa banyak orang yang berpuasa
sedang dia tak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali haus.” (HR.
An-Nasai & Ahmad)
Sementara seluruh ulama lainnya berpandapat
bahwa maksiat tak membatalkan puasa, & inilah pendapat yang benar.
Adapun pendalilan mereka dgn kedua hadits di atas, maka An-Nawawi telah
mejawabnya dlm Al-Majmu’ (6/356), “Teman-teman semazhab kami telah
menjawab hadits-hadits ini: Bahwa yang dimaksudkan dgn hadits ini adalah
bahwa kesempurnaan puasa & keutamaannya yang dicari, itu hanya bisa
didapatkan dgn menjaga lisan dari ucapan sia-sia & ucapan yang
rendah, tak menunjukkan bahwa puasanya batal.”
Makan & minum dlm keadaan lupa
Ada dua pendapat di kalangan ulama dlm masalah ini:
- Puasanya syah & tak batal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, juga merupakan mazhab Imam Ahmad & Asy-Syafi’i.Mereka berdalil dgn hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ“Barangsiapa yang lupa sedang dia tengah berpuasa, lantas dia makan atau minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena dia hanya diberi makan & minum oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1933 & Muslim no. 1155)Dalam hadits ini Nabi menyuruh utk menyempurnakan puasanya & tak memerintahkannya utk membayar qadha`, ini menunjukkan puasanya syah. Demikian diterangkan oleh Ibnu Taimiah dlm Kitab Ash-Shiyam (1/457-458)
- Puasanya batal & dia wajib membayar qadha. Ini
adalah pendapat Malik & Rabiah, gurunya.Mereka mengatakan: Karena
menahan dari pembatal puasa adalah rukun puasa sementara rukun kalau
ditinggalkan maka akan membatalkan ibadah, baik sengaja maupun lupa.
Dalam hal ini mereka mengkiaskannya kepada shalat.Yang kuat adalah
pendapat yang pertama. Adapun kias pendapat kedua maka dia adalah kias
yang batil karena bertentangan dgn dalil.
Walaupun tak membatalkan puasanya, akan tetapi siapa yang melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya dia menegurnya & mengingatkannya, berdasarkan keumuman dalil amar ma’ruf & nahi mungkar. Lihat kitab Al-Furu’ (3/53)
Melakukan jima’ bukan pada kemaluan
Maksudnya
dia menyentuhkan kemaluannya pada bagian tubuh istrinya (selain
kemaluan) -misalnya di antara dua pahanya-, maninya keluar maupun tidak.
Ada tiga pendapat dlm masalah ini:
- Itu membatalkan puasanya & dia wajib membayar kaffarah.Ini adalah pendapat Malik, Atha`, Al-Hasan, Ibnul Mubarak, Ishaq, & salah satu riwayat dari Ahmad.
- Itu membatalkan puasanya akan tetapi tak ada kewajiban kaffarah.Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, & riwayat lain dari Ahmad.Mereka mengatakan: Karena ini bukanlah jima’ yang sempurna sehingga dikiaskan dgn mencium, & tak ada dalil akan wajibnya kaffarah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
- Tidak membatalkan puasanya walaupun maninya keluar. Ibnu Muflih menyebutkan kemungkinan pendapat ini dlm Al-Furu’ & kelihatannya beliau condong kepada pendapat ini.Telah berlalu bahwa ini adalah pendapat Ibnu Hazm.Yang rajih adalah pendapat ketiga, ini yang dirajihkan oleh Ash-Shan’ani & Syaikh Al-Albani.Hal itu karena tak ada dalil yang menyatakan perbuatan ini adalah pembatal puasa. Adapun mengkiaskannya dgn jima’, maka kias ini kurang detail, karena adanya perbedaan antara jima’ dgn kasus di atas.Adapun sekedar karena keluarnya mani, maka para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ itu membatalkan puasa walaupun tak ada mani yang keluar. Maka ini menunjukkan patokan pembatal puasa adalah perbuatan jima’, bukan keluarnya mani.Adapun sekedar karena adanya syahwat, maka kita katakan adanya syahwat tak cukup utk menghukumi batalnya puasa seseorang, sebagaimana yang akan datang bahwa orang yang mencium istrinya karena syahwat tidaklah membatalkan puasanya.Jadi, yang benar pada kasus di atas puasanya tak batal, akan tetapi puasanya makruh bahkan dikhawatirkan dia kehilangan pahala puasanya -walaupun puasanya syah-, wallahu a’lam. [Al-Mughni: 3/26, Al-Inshaf: 3/284, Syarh Kitab Ash-Shiyamk: 1/302, & Al-Majmu’: 6/342]
Sisa makanan pada gigi atau yang ikut pada ludah
Dalam hal ini ada dua keadaan:
Jika
dia tak bisa utk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka
para ulama sepakat bahwa hal itu tak mengapa, sebagaimana yang dinukil
oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-Majmu’ (6/320)
Jika dia bisa
mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat
bahwa itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan.
Sementara Abu Hanifah berpendapat hal itu tak membatalkan puasa, &
ucapannya ini tak berlandaskan dalil.
Menelan dahak atau ingus & semacamnya
Dalam hal ini ada dua keadaan:
- Jika dia tak keluar ke mulut, akan tetapi dari otak atau hidung langsung ke lambung maka hal itu tak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
- Jika dia keluar ke mulut lalu sengaja tertelan, maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
- Mereka mengatakan karena apa yang ada dlm mulut dihukumi sama seperti apa yang datang dari luar. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
- Tidak membatalkan puasanya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan karena dia tak keluar dari mulut sehingga tak bisa dikatakan makan & minum. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil & Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.Kami katakan: Untuk keluar dari khilaf, hendaknya dia membuangnya & tak sengaja menelannya, wallahu a’lam.
Infus
Jika
infusnya dimasukkan melalui urat nadi atau otot maka: Jika infusnya
berupa makanan atau sesuatu yang bisa menguatkan fisiknya maka itu
membatalkan puasanya. Kalau bukan maka puasanya tetap syah. Ini adalah
pendapat yang difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-.
Lihat Tuhfatul Ikhwan hal 175
Adapun jika infusnya dimasukkan melalui hidung lalu diteruskan ke otak maka dlm hal ini ada tiga mazhab di kalangan ulama:
- Jika dia sampai ke otak maka itu membatalkan puasanya. Karena semua yang sampai ke otak pasti akan sampai ke lambung atau ke tenggorokan, mengingat antara otak & lambung ada saluran yang menyambungkannya.Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, & yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
- Tidak membatalkan puasa kecuali diyakini dia masuk ke tenggorokan. Ini adalah pendapat Imam Malik.
- Tidak membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibrahim & Ibnu Hazm.Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz & Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- adalah pendapat yang kedua.
Onani
Imam Empat & mayoritas ulama berpendapat bahwa onani membatalkan puasa,
karena dia dihukumi tak meninggalkan syahwatnya. Ini yang dikuatkan
oleh Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, & Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sementara
Ibnu Hazm berpendapat bahwa itu tak membatalkan puasa karena tak adanya
dalil yang menunjukkan batalnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh
Ash-Shan’ani & Syaikh Al-Albani -rahimahumullah-.
Wallahu
a’lam, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas sekedar keluarnya mani bukanlah pembatal
puasa -walaupun puasanya makruh-. Kembali ke hukum asal, puasa seseorang
tidaklah batal kecuali ada dalil tegas yang menyatakannya.
Bermesraan atau mencium atau memandang wanita
Dalam hal ini ada dua keadaan:
- Jika hal itu menyebabkan keluarnya mani atau madzi.Ada beberapa pendapat dlm masalah ini:
- Dia mengqadha kalau keluar maninya bukan karena memandang (yakni karena mencium atau bermesraan). Jika hanya keluar madzi maka tak ada qadha.Ini adalah pendapat para ulama Kufah & Imam Asy-Syafi’i.
- Jika yang keluar mani (karena salah satu dari tiga sebab di atas) maka dia mengqadha sekaligus bayar kaffarah. Tapi jika yang keluar madzi maka dia hanya mengqadha.Ini adalah pendapat Imam Malik & Ishaq bin Rahawaih. Yang dijadikan dalil bagi pendapat mereka adalah bahwa keluarnya mani merupakan puncak tujuan dari jima’, sementara jima mengharuskan membayar kaffarah.
- Tidak ada kewajiban qadha` atasnya & tak pula kaffarah.Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm & yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani tatkala beliau mengatakan, ”Yang nampak, tak ada qadha` & tak pula kaffarah kecuali atas orang yang melakukan jima’. Mengikutkan perbuatan selain jima’ kepadanya (jima’) adalah hal yang tak tepat.”Pendapat yang kuat adalah pendapat yang terakhir, ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullah-.Adapun pendapat pertama, mereka tak mempunyai dalil atas pembedaan hukum yang mereka sebutkan. Sedangkan dalil pendapat kedua terbantahkan dgn kenyataan bahwa orang yang melakukan jima’ tetap wajib membayar kaffarah walaupun tak ada mani yang keluar, wallahu a’lam.
- Jika hal itu tak menyebabkan keluarnya mani atau madzi.Dalam masalah ini ada lima pendapat di kalangan ulama:
- Boleh.Pendapat ini dinukil dgn sanad yang shahih dari Abu Hurairah & Sa’ad bin Abi Waqqash. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (3/60) & (4/185) & dishahihkan oleh Ibnu Hazm. Hanya saja Ibnu Hazm terlalu berlebihan hingga menyatakan sunnahnya.Mereka berdalil dgn 3 hadits dari: Hafshah, Aisyah, & Ummu Salamah, dimana dlm ketiga hadits ini disebutkan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mencium istrinya sedang beliau berpuasa. Hadits Aisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhari & Muslim sedang dua lainnya diriwayatkan oleh Muslim.
- Haram.Bahkan sebagian ulama -seperti Abdullah bin Syubrumah- berpendapat bahwa itu membatalkan puasa. Pendapat ini juga dibawakan dari Said bin Al-Musayyab.Mereka berdalil dgn firman Allah Ta’ala, ”Maka sekarang (setelah malam), sentuhlah mereka (istri kalian).” (QS. Al-Baqarah: 187)Mereka menjawab hadits-hadits yang membolehkan bahwa itu hukum itu hanya khusus berlaku utk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
- Makruh secara mutlak.Ini adalah pendapat yang masyhur dlm mazhab Al-Malikiah.Mereka mengatakan karena perbuatan ini merupakan wasilah terjadinya hal yang diharamkan. Adapun hadits-hadits yang membolehkan, mereka juga menjawabnya seperti jawaban pendapat kedua.
- Makruh bagi pemuda & boleh bagi yang sudah tua.Dalil yang dijadikan pendukung bagi pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah dia berkata, ”Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu bertanya kepada beliau tentang ‘menyentuh’ istri bagi orang yang berpuasa, maka beliau memberikannya keringanan. Dan ada orang lain yang datang kepada beliau & menanyakan hal yang sama maka beliau melarangnya. Ternyata yang beliau berikan keringan adalah seorang yang tua, sementara yang beliau larang adalah seorang pemuda.”Sanadnya shahih. Adapun rawi dlm sanadnya yang bernama Abul Anbas Al-Harits bin Ubaid, maka dia telah dinyatakan tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Main sebagaimana dlm Tarikh Ad-Darimi. Karenanya hukum majhul yang dilontarkan sebagian ulama kepadanya tidaklah tepat.
- Jika dia bisa menguasai syahwatnya maka boleh, & jika tak bisa maka tak boleh.Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i & Ats-Tsauri. Mereka berdalilkan hadits Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
”Adalah
Rasulullah mencium dlm keadaan berpuasa & beliau ‘menyentuh’ dlm
keadaan berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat
menahan hasratnya di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1927 &
Muslim no. 1106)
Terlarangnya orang yang tak bisa menguasai
dirinya karena hal itu bisa membahayakan puasanya, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh dalil pendapat keempat.
Yang kuat dlm masalah
ini adalah pendapat yang kelima. Dan kalaupun dia melakukannya padahal
dia tak bisa menguasai dirinya maka puasanya tidaklah batal sampai dia
melakukan jima’.
Pendapat pertama terbantahkan dgn dalil pendapat keempat & kelima.
Pendapat
kedua & ketiga terbantahkan dgn dalil pendapat pertama, keempat,
& kelima. Adapun ayat yang mereka pakai berdalil, maka dikatakan:
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- sebagai penjelas Al-Qur`an
telah mencium istrinya di siang hari, maka ini menunjukkan bahwa
‘menyentuh’ dlm ayat itu bermakna lebih khusus yaitu jima’.
Adapun
klaim mereka bahwa hukum boleh itu hanya berlaku utk Nabi saja, maka
terbantahkan dgn hadits Umar bin Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, ”Apakah orang yang berpuasa
boleh mencium?” maka beliau menjawab, ”Tanya dia,” maksudnya Ummu
Salamah. Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah
-shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Umar berkata, ”Wahai
Rasulullah, Allah telah mengampuni semua dosamu yang terdahulu &
belakangan,” maka beliau menjawab, ”Ketahuilah, demi Allah sungguh saya
adalah orang yang paling bertakwa & paling takut kepada Allah di
antara kalian.” (HR. Muslim)
Mirip dgn hadits seorang lelaki dari
Al-Anshar mencium istrinya lalu setelah itu dia menyuruh istrinya utk
menanyakan masalah ini kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
Setelah bertanya, istrinya mengabarkan bahwa Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam- melakukannya. Maka dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi
telah diberikan keringan pada beberapa perkara maka kembalilah bertanya
kepada beliau.” Maka istrinya kembali menanyakannya maka Rasulullah
-shallallahu alaihi wasallam- bersabda, ”Saya adalah orang yang paling
bertakwa & yang paling tahu tentang batasan-batasan Allah di antara
kalian.” (HR. Ahmad: 5/434 & dishahihkan oleh Al-Wadi’i dlm
Ash-Shahih)
Adapun pendapat keempat maka dijawab: Masalah syahwat
adalah bersifat nisbi, tak ada hubungannya dgn masalah umur. Terkadang
ada orang tua yang syahwatnya lebih besar daripada pemuda &
sebaliknya. Juga terbantahkan dgn kisah Umar bin Salamah yang ketika itu
beliau seorang pemuda.
[Al-Fath: 1927, As-Subul: 4/128-129, Al-Muhalla masalah no. 753 & Al-Majmu’: 6/355]
sumber: www.al-atsariyyah.com
Komentar
Posting Komentar