A. Pengertian Kerukunan
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Rukun:
a. Baik dan damai; tidak bertengkar (tt pertalian persahabatan dsb)
b. Bersatu hati; bersepakat
c. Kampung rukun warga
d. Tani perkumpulan kaum tani
e. Tetangga perkumpulan antara orang yg bertetangga
f. Warga perkumpulan antara kampung yg berdekatan (bertetangga) dalam suatu kelurahan
g. Kerukunan: perihal hidup rukun, rasa rukun, kesepakatan.
2. Kamus Seasite
Rukun: Tidak pernah bertengkar, bersatu, baik dan damai.
3. Istilah Kerukunan
Kerukunan
dibagi dalam 2 istilah. Pertama, demografis dan fakta sosiologis.
Pengertianya adalah kenyataan sosial adanya kelompok yang tinggal
menetap bersama disebuah negara. Kedua, ideologi dan konsep normatif
tentang cara hidup (way of life). Dimana sebuah tatanan sosial
ideal berupa lambang dari prinsip keadilan sosial yang mengemukakan
tentang hak-hak, nilai, dan kesetaraan kelompok.
Sedangkan
pengertian kerukunan itu sendiri adalah keadaan dimana hubungan sesama
umat beragama yang diandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan
kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara didalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
(UUD) tahun 1945.
4. Konsep yang Mendasari Paham Kerukunan
1. Kesatuan/Persatuan.
Al-Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan. “Sesungguhnya umatmu adalah umat yang satu,” (Al-Anbiya’ 92).
Al-Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan. “Sesungguhnya umatmu adalah umat yang satu,” (Al-Anbiya’ 92).
2. Asal keturunan.
Al-Qur’an mengatakan, manusia diciptakan dari satu keturunan dan bersuku-suku, juga ras agar saling mengenal.
3. Bahasa.
Al-Qur’an menghargai keragaman bahasa. Al-Rum ayat 22.
4. Adat-istiadat.
Kata ‘urf dan makruf dalam Al-Qur’an merujuk kepada kebiasaan dan adat istiadat diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Kata ‘urf dan makruf dalam Al-Qur’an merujuk kepada kebiasaan dan adat istiadat diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
5. Sejarah.
Kandungan Al-Qur’an banyak menyebut sejarah sebagai iktibar.
Kandungan Al-Qur’an banyak menyebut sejarah sebagai iktibar.
6. Cinta tanah air.
Sabda Nabi Muhammad SAW :”Hubb al-wathan min al-iman”.
Sabda Nabi Muhammad SAW :”Hubb al-wathan min al-iman”.
B. Tetangga
Tetangga
adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa dipisahkan.
Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tapi juga
merupakan makhluk sosial, kenyataannya manusia memang tidak bisa hidup
sendirian satu sama lain harus selalu bekerjasama dalam mencapai
kebaikan bersama.
Kehidupan
bertetangga terkadang membuat kita pusing tujuh keliling. Ada kalanya
tetangga membuat kita tersenyum tapi tidak menutup kemungkinan tetangga
membuat kita menangis. Tetangga adalah saudara terdekat kita itupun kalo
memang tetangga itu bisa diajak kita untuk saling berbagi dan saling
membantu serta mengerti satu sama lain. Tetapi tetangga tidak jarang
menjadi musuh terbesar kita saat ada tetangga yang terlalu perhatian
alias usil alias suka ikut campur urusan orang lain. Kita bisa menjadi
orang yang paling bahagia paling tidak menjadi orang yang dinantikan
waktu kita bersosialisasi di antara para tetangga-tetangga kita,
bukannya menjadi orang yang tidak diharapkan ketika kita bersosialisasi
di tetangga kita, menjadi tetangga yang baik, belum tentu bisa
dimengerti oleh orang lain. Diam bisa diartikan orang lain yang
macam-macam, akan tetapi terlalu banyak bicara juga bisa mengundang
banyak masalah. Ada pepatah “Mulutmu harimau mu” Terlalu banyak bicara
membuat banyak persepsi diantara banyak orang.
Dalam
kehidupan bertetangga dilatarbelakangi ekonomi yang berbeda-beda,
berbagai macam profesi dan pekerjaan dan tingkat pendidikkan dan umur yang
bervariasi membuat orang terkadang timbul rasa iri dan dengki yang
tidak lain dan tidak bukan akan memicu konflik dalam kehidupan
bertetangga. Setiap orang tentu ingin hidup rukun dan harmonis dengan
tetangganya. Keharmonisan hubungan bertetangga sebenarnya amat penting,
sebab kekuatan sendi-sendi sosial suatu masyarakat sangat ditentukan
oleh keharmonisan hubungan antarwarganya. Memang sungguh nikmat jika
kita memiliki tetangga-tetangga yang baik akhlaknya, ramah, dan penuh
perhatian. Kendati demikian, kita tidak pernah bisa memaksa orang lain
untuk selalu bersikap baik, kecuali kita paksa diri kita sendiri untuk
bersikap baik terhadap siapapun. Alangkah beruntungnya jikalau kita
hidup dan bertetangga dengan orang-orang yang mulia. Walaupun rumah
sempit, kalau tetangganya baik tentu akan terasa lapang. Dan alangkah
ruginya, jika rumah kita dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang busuk
hati. Walaupun rumah lapang, niscaya akan terasa sempit.
Menurut
Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan tetangga adalah 40 rumah di samping
kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita
berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian
tangan, salam, atau malah ngobrol di antara pagar rumah. Islam sangat
memperhatikan masalah adab-adab bertetangga.
3.Berdampingan dengan Tetangga
Manusia
adalah mahluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup tanpa bantuan
orang lain. Baik dalam interaksi hidup sehari-hari dengan sesama,
maupun hubungannya dengan alam sekitar. Kenyataan bahwa Allah swt.
meniupkan ruh kepada materi dasar manusia, menunjukkan manusia
berkedudukan mulia di antara ciptaan yang lain. Manusia juga diberikan
kesadaran moral dan keberanian yang disertai sikap mawas diri untuk
memikul tanggungjawab dan amanat Allah. Hal ini menunjukan pula posisi
dan kedudukannya dalam kehidupan (al-Mu’minun:115). Namun demikian,
diantara sesamanya tentu manusia memiliki derajat
yang sama. Tidak ada tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan
yang lainnya, kecuali ketakwaannya (al-Hujarat:13). Setiap manusia
memiliki kekurangan (at-Takatsur, al-Humazah, al-Ma’un, az-Zumar:49,
al-Haj:66) dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang
potensi kebaikannya (al-Mu’minun: 57-61), tetapi ada pula yang menonjol
potensi kelemahannya. Karenanya manusia harus saling menolong,
menghormati, bekerjasama, saling menasehati dan mengajak kepada
kebenaran demi kebaikan bersama (Ali Imran:103, an-Nisa 36-39).
Agama
mengajarkan kita untuk melakukan hubungan yang baik dan bermanfaat,
sehingga tercipta masyarakat harmonis, kondusif dan progresif. Inti dari
ajaran tersebut, hendaknya setiap individu melakukan habluminannas
secara universal. Mereka dituntut untuk masuk pada setiap aspek
kehidupan, baik dibidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, budaya, dan
sebagainya, yang dipandang memiliki peranan penting dalam kehidupan
sosial.
Salah
seorang teman penulis pernah bercerita, bahwa masa kecilnya dilalui
di sebuah kompleks perumahan di Jawa. Ia hidup dalam lingkungan sosial
yang heterogen, di mana kaum muslim dan non muslim saling
hidup rukun satu sama lain. Bahkan, dalam persiapan-persiapan acara
seperti Yasinan, ibunya terkadang meminjam peralatan pada tetangga.
Sebaliknya, bila tetangga non muslim menyelenggarakan kegiatan
keagamaan, ibunya juga berganti meminjamkan peralatan pada tetangga non
muslim tersebut. Hal ini berlangsung lama, tanpa prasangka, dan
ternyata tidak menimbulkan konversi (perpindahan keyakinan) dari
salah satu di antara mereka.
Tampaknya
hubungan antar tetangga, baik muslim maupun non-muslim harus dibina
selalu untuk membangun kerukunan hidup manusia, tanpa mengorbankan
keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam. Di sini sikap
toleransi menjadi sesuatu yang sangat berharga dan faktor yang harus
diperhatikan. Jika kerukunan dan toleransi selalu terjaga, niscaya
kehidupan masyarakat baik pendidikannya, ekonomi, sosial, keagamaan,
politik maupun lainnya, dapat terlaksana dengan harmonis.
Berbagai
peristiwa hidup yang mewarnai hubungan antara kita dan tetangga memang
seringkali terjadi. Kebiasaan yang berbeda di masing-masing keluarga,
juga mewarnai kehidupan bertetangga. Terkadang, meskipun ada rasa
mengganjal di hati, kita tidak berani menyampaikan pendapat sekedar
untuk bertenggang rasa. Padahal, hidup bertetangga juga mewajibkan
kita untuk berbuat sesuatu manakala terjadi masalah-masalah serius
yang menimpa keluarga tetangga kita. Sebagai contoh adalah
terjadinya pencurian atau perampokan di rumah tetangga sebelah, atau
adanya ke kerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa isteri
ataupun anak-anak tetangga
Salah satu pasal dalam Undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), yakni pasal 15 menyebutkan:
“Setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk:
a) Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b) Memberikan perlindungan
kepada korban;
c) Memberikan pertolongan darurat; dan
d)Membantu proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan."
Pasal
ini juga bisa dipahami sebagai bentuk penerapan langsung mengenai
adab dalam bertetangga. Dengan pasal tersebut hendaknya dalam
kehidupan sehari-hari, setiap manusia tidak hanya dituntut untuk
saling menghormati harkat dan martabat sesamanya. Mereka juga
diharuskan saling menjaga, melindungi, dan memberikan pertolongan
atas sesamanya dari tindak kekerasan dan pidana. Manusia baik laki- laki
maupun perempuan adalah sama derajat dan posisinya. Karenanya mereka
harus berlaku adil, melindungi terhadap siapapun, untuk saling
mengupayakan ketentraman hidup bersama. Mereka juga harus bekerja
sama, saling terbuka, dan membangun komunikasi yang setara antar sesama.
Melalui
pandangan seperti ini kerukunan hidup bermasyarakat, bahkan berbangsa
dan bernegara dapat dikembangkan. Ada saling pengertian, kerelaan
dan kesepakatan untuk saling menjaga dan kerjasama dengan seimbang
antar warga. Mudah-mudahan dengan mempererat kerukunan dan
persaudaraan dalam hidup bertetangga, kita bisa saling memberikan
manfaat untuk diri dan lingkungan sekitar.
Tidak
salah, jika dalam beberapa hadits, Nabi sering berpesan kepada kita
untuk selalu berbuat baik dan menghormati tetangga. Sebab, tetangga
memang orang yang dekat dengan kita dan tidak jarang tatkala kita sedang
dirundung duka atau kesusahan, tetangga-lah orang pertama yang
memberikan uluran tangan. Karena pentingnya menghormati tetangga itu.
Nabi pernah mengatakan bahwa kualitas keimanan seseorang bisa dilihat
sejauh mana dia mampu berbuat baik terhadap tetangganya.
Dalam hadits lain, Nabi juga bersabda, “Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!”. Ditanya “Siapa ya Rasulullah?” Jawab Nabi, “ialah orang yang tak aman tetangganya dari gangguannya” (H.R Bukhari dan Muslim). Masih senada dengan kualitas keimanan seseorang berkaitan dengan memuliakan tetangga. Nabi pun bersabda. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetanganya”. (H.R Bukhari dan Muslim).
2. Etika Bertetangga
Sejatinya,
tetangga itu bukan hanya sebatas orang yang rumahnya dekat dengan kita.
Memang, ada satu pendapat bahwa tetangga adalah orang yang rumahnya
kira-kira berjarak 40 rumah dengan keberadaan rumah kita. Tapi di tengah
kemajuan zaman dan kesibukan manusia, yang terpenting adalah sejauh
tetangga yang bisa dijangkau. Sebab di zaman sekarang ini, apalagi hidup
di kota besar, tampaknya sulit sekali untuk mengenal orang yang
berjarak 40 rumah dari tempat tinggal kita. Karena tu persoalannya,
bukanlah terletak jaraknya melainkan sejauh mana kita membangun hubungan
baik dengan tetangga, terutama tetangga yang dekat dengan kita.
Ada sebuah kisah unik dan menarik yang bisa kita petik dari sifat yang diajarkan oleh Abdullah bin Mas’ud.
Suatu hari, Abdullah bin Mas’ud meminum segelas teh manis. Tapi, beliau
tampaknya tidak mau membuang begitu saja sisa tehnya itu, lalu dituang
ke tanah. Ada yang aneh dengan tindakannya itu? Ternyata tidak. Sebab
saat ditanya kenapa dia membuang sisa tehnya itu, Abdullah bin Mas’ud
dengan jujur menjawab, “Saya hanya ingin berbuat baik dengan tetangga dekat saya.” Siapa tetangga yang dimaksud itu? Ternyata tetangga itu adalah “sekumpulan semut kecil” yang ada di bawah tempat duduknya.
Berbicara
soal hidup bertetangga, tentu saja kita tidak bisa melepaskannya dari
etika. Adapun yang dimaksud etika disini adalah bagaimana kita bersikap
baik, jujur, luhur dan memuliakan tetangga kita. Dengan cara apa? Tentu
kita tidak bisa menuntut tetangga kita berbuat baik dahulu kepada kita.
Sebaliknya kitalah yang seharusnya melakukan atau memulai berbuat baik
terhadap tetangga kita.
Dalam masalah etika diatas, setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan pegangan.
1. Bersikap positive thingking
(berpikiran positif terhadap yang dilakukan tetangga kita). Pendeknya,
kita tak boleh berprasangka negatif, apalagi iri hati. Sebab, dengan
menunjukkan sikap berpikir positif terhadap tetangga kita juga akan
mendapatkan hal yang sama. Tetangga kita akan berpikir positif terhadap kita.
2. Menganggap tetangga sebagai saudara. Kita tentu turut berbahagia bilamana tetangga sedang mendapatkan karunia. Sebaliknya ikut bersedih (berempati) apabila tetangga mendapatkan musibah. Dengan menebar empati seperti itu, akan lahir sikap ingin membantu sesama tetangga.
3. Jika ada kelebihan rezeki, sudah selayaknya kita ingat tetangga dan berbagi. Sebab Rasulullah saw. menganjurkan kita saling memberi hadiah, karena itu bisa melahirkan kecintaan di antara sesama. Bahkan sekali pun tetangga
kita menjahili kita, bukan lantas kita membalasnya dengan hal serupa.
Nabi menganjurkan untuk berbuat baik sekali pun orang lain berbuat buruk
kepada kita.
4. Selalu menjaga kerukunan dan keutuhan dalam bertetangga. Kalau saja, ada di antara
tetangga kita yang sedang berselisih, maka kita jangan ikut-ikutan.
Kita harus bersikap adil, tidak memihak salah satu dan dianjurkan jadi
penengah untuk mendamaikan tetangga yang saling berselisih.
Sebab Allah menganjurkan kita untuk berbuat baik dengan siapapun, “…Dan berbuatlah baik kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh…” (QS. An-Nisa : 36).
3. Akhlak Kepada Tetangga
Dalam
kehidupan sosial, tetangga merupakan orang yang secara fisik paling
dekat jaraknya dengan tempat tinggal kita. Dalam tatanan hidup
bermasyarakat, tetangga merupakan lingkaran kedua setelah rumah tangga,
sehingga corak sosial suatu lingkungan masyarakat sangat diwarnai oleh
kehidupan pertetanggaan. Pada masyarakat pedesaan, hubungan antar
tetangga sangat kuat sehingga melahirkan norma sosial. Demikian juga
pada lapisan masyarakat menengah kebawah dari masyarakat perkotaan,
hubungan pertetanggaan masih sekuat masyarakat pedesaan. Hanya pada
lapisan menengah keatas, hubungan pertetanggaan agak longgar karena pada
umumnya mereka sangat individualistik.
Tradisi
ke Islaman memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan
norma-norma sosial hidup bertetangga. Adanya lembaga Shalat berjamaah di
mesjid, baik harian lika waktu, Jum’atan maupun tahunan Idul Fitri dan
Idul Adha cukup efektip dalam membentuk jaringan pertetanggaan. Demikian
juga tradisi sosial keagamaan, seperti tahlillan, ratiban, akikah,
syukuran, lebaran dan sebagainya sangat efektip dalam mempertemukan
antar tetangga.
Tentang
betapa besarnya makna tetangga dalam membangun komunitas tergambar pada
hadist Nabi yang memberi petunjuk agar sebelum memilih tempat tinggal
hendaknya lebih dahulu mempertimbangkan siapa yang akan menjadi
tetangganya.
Selanjutnya akhlak bertetangga diajarkan sebagai berikut:
a. Melindungi
rasa aman tetangga. Kata Nabi, ciri karakteristik seorang muslim
adalah, orang lain (tetangga) terbebas dari gangguannya, baik gangguan
dari kata-kata maupun dari perbuatan fisik.
b. Menempatkan tetangga (yang miskin) dalam skala prioritas pembagian zakat.
c. Memberi salam jika berjumpa.
d. Menghadiri undangannya.
e. Menjenguknya saat sakit.
f. Melayat/mengantar jenazah tetangga yang meninggal dunia.
g. Berempati kepada tetangga.
Adapun didalam Al-Qu’an ayat yang menyoroti akhlak kepada tetangga:
Ø An-Nisa ayat 36
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Ayat
diatas menyuruh kita untuk berbuatbaik kepada tetangga yang dekat
maupun yang jauh.Ini berarti empati kita terhadap tetangga harus
diutamakan. biasanya ada tetangga yang ketika ditimpa masalah ada yang
mau berbagi/bercerita, ada yang tidak. Bagi yang tidak mau bercerita
tentang kesusahannya, kita harus peka sehingga kita dapat menolong
mereka. Salah satu cara agar kita peka terhadap kesushan tetangga adalah
dengan terus menyambungkan tali silaturrahim.
Ø Al-Baqarah ayat 273
“(Berinfaklah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah;
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal
mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Dari
ayat diatas menerangkan bahwa untuk berinfak saja kita harus
mendahulukan orang-orang yang fakir tapi terpelihara dari meminta-minta.
Ini menjelaskan bahwa berempati dengan tetangga adalah salah satu
akhlak bertetangga juga.
Adapun beberapa Hadist yang menyoroti akhlak kepada tetangga:
Ø Dari
Abu Huraira ra. Rasulillah SAW bersabda, “Tidaklah akan masuk surga
seseorang yang tetangganya tidak aman dari bahayanya”. (HR. Muslim)
Ø Para
sahabat menyebut kepada Rasulullah SAW seorang wanita yang rajin
shalat, tetapi dia suka menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda, “Ia
di neraka” . Hak tetangga yang lain ialah memperhatikan keberadaannya.
Ø “Tidaklah beriman orang jika ia kenyang, sedangkan tetangga disebelahnya kelaparan dan ia tahu”. Setelah itu disusul dengan berbuat ihsan, melakukan hubungan dan kebajikan dengan tetangga.
Ø Abu
Dzarr ra. berkata: Bersabda Rasulullah:”hai Abu Dzarr, jika engkau
memasak kuwah, maka perbanyaklah airnya, dan perhatikan tetanggamu”. (HR
Muslim). Yaitu berikan kepada mereka selayaknya.
Ø Abu
Hurairah ra. Berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: “Hai wanita muslimat,
jangan merasa rendah kalau akan memberi hadiah pada tetangga, walau
sekedar kikl (ujung kaki) kambing”. (HR. Bukhari). Karena hadiah itu
akan menimbulkan rasa kasih sayang antar satu sama lain, maka jangan
sampai terhalang memberikan hadiah itu, karena belum dapat memberi
hadiah yang besar dan berharga. Singkatnya segala apa yang pantas untuk
dirinya boleh dihadiahkan kepada tetangganya.
Ø “Sebaik-baik
teman di sisi Allah ialah yang terbaik kepada temannya dan
sebaik-baiknya tetangga di sisi Allah ialah yang terbaik kepada
tetangganya” (HR. Attirmidzi).
4. Belajar Menghormati Tetangga
Sesuatu
yang tak dapat dihindari dalam hidup bermasyarakat adalah kehidupan
bertetangga. Karena yang kita harapkan adalah hidup bermasyarakat dengan
tentram dan damai, tentunya kita juga harus hidup dengan tentram dan
damai bersama tetangga kita. Alangkah nyaman hidup bersama tetangga yang
baik. Sebaliknya, alangkah sempitnya hidup bersama tetangga yang jelek.
Ø Sebagaimana
dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dinukil
oleh Isma’il bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, dari
kakeknya:
“Empat
hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat
tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan
empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang: tetangga yang jelek,
istri yang jelek, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.”
(HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1232 dan Al-Khathib dalam
At-Tarikh 12/99. Al-Imam Al-Albani mengatakan dalam Ash-Shahihah no.
282: “Ini adalah sanad yang shahih menurut syarat Syaikhain/Al-Bukhari
dan Muslim.”)
Betapa pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Jibril menekankan dalam wasiatnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ø Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Jibril
selalu berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku menyangka
bahwa tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris.” (HR. Al-Bukhari no.
6014 dan Muslim no. 2624)
Ø Bahkan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras orang yang
mengganggu tetangganya dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abu
Hurairah ra:
“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6016)
“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6016)
Ø Dalam riwayat Al-Imam Muslim:
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim no. 46)
Kita
adalah sosok yang telah dewasa. Akal kita telah mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk menurut pandangan syariat, mana yang boleh
dan mana yang tidak boleh. Namun tidak demikian dengan anak-anak kita.
Sehingga justru kadang gangguan terhadap tetangga datang dari ulah
anak-anak kita. Mungkin dengan teriakan-teriakannya, mungkin dengan
tingkah lakunya yang mengganggu, kurang adabnya mereka, dan sebagainya.
Untuk itu, semestinya kita mengajari mereka tentang adab-adab
bertetangga, agar anak-anak kita pun mengerti bahwa tetangga adalah
orang-orang yang harus dihormati dan dihargai, serta terlarang untuk
disakiti.
ü Menjelaskan terlarangnya mengganggu tetangga
Memberi
penjelasan kepada anak-anak tentang sesuatu yang harus dilakukan atau
dihindari dalam agama merupakan suatu hal yang penting. Ini akan
memberikan motivasi kepada si anak untuk menjalankannya. Karena itu,
penting pula kita jelaskan kepada anak-anak bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk berbuat baik kepada tetangga
kita. Beliau pun melarang kita mengganggu mereka, sebagaimana dalam
sabda beliau di atas.
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu menunjukkan “haramnya memusuhi tetangga, baik dengan ucapan
ataupun perbuatan”. Dengan ucapan, artinya tetangga mendengar segala
sesuatu yang mengganggu dan merisaukannya, seperti memutar radio,
televisi, atau yang lainnya sehingga mengganggu tetangga. Ini tak boleh
dilakukan. Memutar bacaan Kitabullah sekalipun, kalau suaranya
mengganggu tetangga, maka ini termasuk sikap memusuhi tetangga, sehingga
tak boleh dilakukan.
Adapun
dengan perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu rumah
tetangga, menyempitkan jalan masuk ke rumahnya, mengetuk-ngetuk
pintunya, dan perbuatan lainnya yang memadharatkan tetangga. Termasuk
pula jika dia memiliki tanaman di sekitar tembok tetangganya yang
pengairannya mengganggu tetangga. Ini pun termasuk gangguan terhadap
tetangga, sehingga tak boleh dilakukan.
Dengan demikian, diharamkan mengganggu tetangga dengan gangguan
apapun. Kalau dia lakukan hal ini, maka dia bukanlah seorang mukmin.
Maknanya, dia tidak bersifat dengan sifat-sifat kaum mukminin dalam
permasalahan yang menyelisih kebenaran ini. (Syarh Riyadhish Shalihin,
2/203) Perlu pula kita jelaskan pada anak-anak bahwa mengganggu tetangga
bisa menjerumuskan seseorang ke neraka. Sebaliknya, berbuat baik kepada
tetangga bisa mengantarkan seseorang ke surga
Nabi
pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, si Fulanah itu biasa shalat malam,
puasa di siang hari, melakukan kebaikan demikian, dan bersedekah, tapi
dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya.” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Dia tidak punya kebaikan. Dia termasuk
penduduk neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Sementara si Fulanah
(wanita yang lain) hanya menjalankan shalat wajib, bersedekah hanya
dengan sepotong keju, tapi tak pernah mengganggu siapa pun.” Rasulullah
menyatakan, “Dia termasuk penduduk surga.” (HR. Al-Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad no. 119, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani dalam
Ash-Shahihah no. 180 bahwa isnadnya shahih)
ü Memberikan makanan kepada tetangga
Kadang
terjadi, anak-anak memakan makanan yang dibawa dari rumah di hadapan
anak-anak tetangga tanpa membaginya. Mereka biarkan teman-temannya
menatap penuh selera tanpa bisa merasakannya. Terkadang yang seperti ini
jadi biang keributan, karena si teman merengek pada orangtuanya yang
mungkin saja tak mampu membelikan makanan serupa dengan segera. Atau
bahkan terjadi pertengkaran gara-gara si teman tak bisa menahan dirinya
sehingga meminta dengan paksa.
Amatlah terpuji jika anak terbiasa membagi makanan dengan anak-anak
tetangga. Begitu pula kita bisa melatih mereka untuk memberikan makanan
yang kita miliki kepada tetangga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan hal ini kepada Abu Dzarr Al-Ghifari ra:
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak makanan berkuah, perbanyak airnya, lalu bagi-bagikan ke tetanggamu!” (HR. Muslim no. 2625)
Demikian
pula jika kita memiliki makanan lain selain makanan berkuah, minuman
seperti kelebihan susu perahan misalnya dan sebagainya, maka selayaknya
kita membaginya kepada para tetangga, karena ini adalah hak mereka.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 2/203)
Terlebih lagi jika tetangga kita dalam keadaan kekurangan dan kelaparan, mestinya kita lebih memerhatikannya.
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah memberitahu Abdullah bin Az-Zubair
radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bukanlah seseorang yang sempurna imannya orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 82)
“Bukanlah seseorang yang sempurna imannya orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 82)
ü Melarang anak-anak mengambil barang milik tetangga
Terkadang
ada anak yang membawa mainan yang bukan miliknya sepulang dari bermain
dengan anak tetangga. Setelah ditelusuri, dia mengambil mainan milik
teman yang dia inginkan. Ada pula yang mengambil buah dari pohon
tetangga tanpa seizin pemiliknya. Ini semua adalah contoh perilaku tak
terpuji yang bisa terjadi pada anak-anak.
Karena itu, anak perlu disadarkan bahwa mengambil barang orang lain
tanpa izin atau mencuri adalah suatu hal yang terlarang. Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras
akan hal ini. Lebih-lebih lagi mencuri milik tetangga, ini lebih besar
lagi keharamannya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat
beliau tentang zina. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda, “Seseorang berzina dengan
sepuluh orang wanita lebih ringan daripada berzina dengan istri
tetangganya.” Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat tentang
mencuri. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Lalu beliau menyatakan, “Seseorang mencuri
dari sepuluh rumah lebih ringan daripada mencuri dari rumah
tetangganya.” (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 103,
dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 76)
Dengan
mengajarkan adab-adab ini kepada anak-anak, diharapkan mereka tidak
membuat berbagai ulah yang akan mengganggu atau bahkan merugikan
tetangga. Begitu pula kita akan terjaga dari ancaman mengganggu
tetangga, sekalipun gangguan itu bukan langsung berasal dari perbuatan
kita melainkan dari tingkah polah anak-anak kita. Mudah-mudahan dengan
itu kita dapat mewujudkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang disampaikan oleh Abu Syuraih Al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim no. 47)
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim no. 47)
Komentar
Posting Komentar