Ada satu perbedaan signifikan antara menilai properti dan saham, yaitu affordability atau keterjangkauan. Affordability tidak menjadi isu dalam saham, karena transaksi pembelian saham dilakukan secara tunai.
Sebaliknya, transaksi properti biasanya merupakan pembelian leverage yang melibatkan pembiayaan dari bank. Demikian penuturan pengamat properti Panangian Simanungkalit dalam buku berjudul ”Cara Kaya melalui Properti”.
Di dalam pasar saham, representasi harga saham terlihat dari rasio price/earnings (harga/pendapatan) atau rasio P/E. Rasio P/E tinggi sewaktu harga saham melampaui pendapatan perusahaan. Artinya, saham itu dihargai terlalu tinggi. Sebaliknya, saat rasio P/E rendah, maka saham dihargai terlalu rendah.
Kesanggupan Mencicil KPR
Affordability properti memainkan peran saat menilai properti. Jadi, rasio P/E yang sepadan bagi properti adalah pertumbuhan harga/pertumbuhan penghasilan rumah tangga atau cicilan utang KPR/penghasilan rumah tangga. Keduanya memberikan sejumlah tolok ukur affordability atau kemampuan pembeli untuk mencicil KPR.
Tetapi tolok ukur affordability yang lebih tepat adalah cicilan utang KPR sebagai persentase penghasilan rumah tangga. Mengapa demikian? Kebanyakan rumah tangga membiayai pembelian suatu rumah dengan kemampuan mencicil utang KPR kepada bank. Maka, kemampuan mereka membeli properti bergantung pada level penghasilan atau kesanggupan mereka mencicil pembayaran KPR bulanan. Rasio penghasilan/pelunasan utang KPR umumnya berkisar antara 25% - 30 %.
Kisaran ini tampaknya terkait dengan kondisi permintaan dan penawaran properti yang secara relatif normal. Suatu rasio yang jauh di atas kisaran ini mencerminkan adanya masalah daya beli, atau menunjukkan rumah itu dinilai terlalu tinggi.
Suatu rasio di bawah kisaran ini menunjukkan kemungkinan rumah itu dinilai terlalu rendah. Jadi, rasio penghasilan/pembayaran cicilan KPR adalah rasio P/E pasar properti yang paling tepat.
Sebaliknya, transaksi properti biasanya merupakan pembelian leverage yang melibatkan pembiayaan dari bank. Demikian penuturan pengamat properti Panangian Simanungkalit dalam buku berjudul ”Cara Kaya melalui Properti”.
Di dalam pasar saham, representasi harga saham terlihat dari rasio price/earnings (harga/pendapatan) atau rasio P/E. Rasio P/E tinggi sewaktu harga saham melampaui pendapatan perusahaan. Artinya, saham itu dihargai terlalu tinggi. Sebaliknya, saat rasio P/E rendah, maka saham dihargai terlalu rendah.
Kesanggupan Mencicil KPR
Affordability properti memainkan peran saat menilai properti. Jadi, rasio P/E yang sepadan bagi properti adalah pertumbuhan harga/pertumbuhan penghasilan rumah tangga atau cicilan utang KPR/penghasilan rumah tangga. Keduanya memberikan sejumlah tolok ukur affordability atau kemampuan pembeli untuk mencicil KPR.
Tetapi tolok ukur affordability yang lebih tepat adalah cicilan utang KPR sebagai persentase penghasilan rumah tangga. Mengapa demikian? Kebanyakan rumah tangga membiayai pembelian suatu rumah dengan kemampuan mencicil utang KPR kepada bank. Maka, kemampuan mereka membeli properti bergantung pada level penghasilan atau kesanggupan mereka mencicil pembayaran KPR bulanan. Rasio penghasilan/pelunasan utang KPR umumnya berkisar antara 25% - 30 %.
Kisaran ini tampaknya terkait dengan kondisi permintaan dan penawaran properti yang secara relatif normal. Suatu rasio yang jauh di atas kisaran ini mencerminkan adanya masalah daya beli, atau menunjukkan rumah itu dinilai terlalu tinggi.
Suatu rasio di bawah kisaran ini menunjukkan kemungkinan rumah itu dinilai terlalu rendah. Jadi, rasio penghasilan/pembayaran cicilan KPR adalah rasio P/E pasar properti yang paling tepat.
Komentar
Posting Komentar