Investasi properti terus meningkat dari tahun ke tahun—akibat harga tanah selalu naik akibat faktor kelangkaan. Sebaliknya, bangunan di atasnya secara teoritis memiliki umur dengan kualitas yang menyusut. Umumnya, bangunan dapat berumur 20, 30, atau 40 tahun, tergantung fungsi, kualitas, dan standar kekokohan bangunan (konstruksi).
Misalnya, sebuah rumah dibangun dengan kualitas sedang. Dengan luas 200 m2 dan harga bangunan Rp3 juta per meter persegi, maka harga bangunan adalah Rp600 juta. Bila umur efektif bangunan (dianggap) 20 tahun, maka secara teoritis nilai bangunan itu akan terdepresiasi sebesar 100% dibagi 20 tahun, atau 5% per tahun. Artinya, secara teori nilai Rp600 juta akan berkurang 5% menjadi Rp570 juta di tahun kedua, dan turun kembali menjadi Rp540 juta di tahun ketiga, dan seterusnya.
Kendati demikian, pengamat properti Panangian Simanungkalit mengungkapkan, secara praktik teori penyusutan tersebut tidak terjadi di Indonesia, bahkan nilai bangunan cenderung naik. Pasalnya, di Indonesia harga bahan bangunan, seperti semen pasir, kayu, baja, dan lain-lain terus naik—rata-rata bisa di atas 10% per tahun. Kenaikan ini disebabkan tingginya permintaan properti di Indonesia, baik untuk rumah, ruko, dan lain-lain.
Panangian memberi contoh, rumah miliknya dibeli pada 1996 dengan harga Rp120 juta, dengan luas bangunan 100 m2 dan luas tanah 200 m2. Ketika dihitung tahun 1996, harga bangunan hanya Rp57 juta atau Rp570.000 per m2.
Pada tahun 2008 (setelah 12 tahun), harga bangunan diperkirakan telah menjadi Rp200 juta. Mengapa demikian? Karena harga rumah sudah mencapai Rp600 juta, dimana harga tanah di lokasi tersebut telah menyentuh angka Rp2 juta per m2.
Artinya, nilai tanah adalah 200 m2 x Rp2 juta = Rp400 juta. Dari kondisi ini terlihat, nilai bangunan bukan mengalami penurunan, tetapi sebaliknya terus meningkat dari Rp57 juta menjadi Rp200 juta.
Misalnya, sebuah rumah dibangun dengan kualitas sedang. Dengan luas 200 m2 dan harga bangunan Rp3 juta per meter persegi, maka harga bangunan adalah Rp600 juta. Bila umur efektif bangunan (dianggap) 20 tahun, maka secara teoritis nilai bangunan itu akan terdepresiasi sebesar 100% dibagi 20 tahun, atau 5% per tahun. Artinya, secara teori nilai Rp600 juta akan berkurang 5% menjadi Rp570 juta di tahun kedua, dan turun kembali menjadi Rp540 juta di tahun ketiga, dan seterusnya.
Kendati demikian, pengamat properti Panangian Simanungkalit mengungkapkan, secara praktik teori penyusutan tersebut tidak terjadi di Indonesia, bahkan nilai bangunan cenderung naik. Pasalnya, di Indonesia harga bahan bangunan, seperti semen pasir, kayu, baja, dan lain-lain terus naik—rata-rata bisa di atas 10% per tahun. Kenaikan ini disebabkan tingginya permintaan properti di Indonesia, baik untuk rumah, ruko, dan lain-lain.
Panangian memberi contoh, rumah miliknya dibeli pada 1996 dengan harga Rp120 juta, dengan luas bangunan 100 m2 dan luas tanah 200 m2. Ketika dihitung tahun 1996, harga bangunan hanya Rp57 juta atau Rp570.000 per m2.
Pada tahun 2008 (setelah 12 tahun), harga bangunan diperkirakan telah menjadi Rp200 juta. Mengapa demikian? Karena harga rumah sudah mencapai Rp600 juta, dimana harga tanah di lokasi tersebut telah menyentuh angka Rp2 juta per m2.
Artinya, nilai tanah adalah 200 m2 x Rp2 juta = Rp400 juta. Dari kondisi ini terlihat, nilai bangunan bukan mengalami penurunan, tetapi sebaliknya terus meningkat dari Rp57 juta menjadi Rp200 juta.
Komentar
Posting Komentar